JEJAK RANTAUAN
Terkadang ia lelah hidup sendiri. Tanpa
seorang istri baginya tak bergairah. Namun, menunggu Arohi bagaikan menunggu
bulu gagak berwarna putih. Tak akan kembali. Walaupun bulu itu benar-benat
berubah warna, Dimas yakin gagak itu akan terbang bebas tanpa ikatan. Semuanya
tidak akan seperti semula. Setiap malam Dimas berpikir keras, apakah ia akan
seperti tetangganya yang nekad pergi menyusul istrinya ke Hongkong, ataukah
bertahan dengan kesetiaan tanpa kepastian yang menyiksa dirinya. Mungkin jika
Arohi setiap tahun memberikan kabar kepada suaminya, Dimas akan menjaga
kesetiaannya, tetapi itu seakan mimpi baginya.
Angin bergulir begitu cepat. Musim berlari
silih berganti. Musim panca roba kini sudah tiba. Di negara yang dikenal dengan
dua musim ini, kini di guyur oleh hujan cukup deras. Air yang turun menari-nari
itu begitu dingin terasa. Tak terkecuali Dimas lelaki dengan anak satu itu
hanya menatap langit dengan pandangan sendu. Rintik hujan seakan meninggalkan
kenangan pahit yang teramat dalam terhadap Arohi istrinya. Sudah enam tahun
Arohi pergi merantau ke Saudi Arabia. Istrinya itu tidak pernah memberi kabar
sedikit pun. Hanya hujan yang selalu menemaninya setiap kali menyapa desanya.
Alif sang Anak yang baru berusia sembilan tahun selalu menyebut nama ibunya
setiap saat. Dia tidak bisa bersekolah karena Arohi tidak pernah mengirimkannya
uang walaupun itu hanya untuk makan.
Pekerja sebagai seorang serabutan tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka.
Dimas sering sekali mengeluh atas perbuatan istrinya yang tak bertanggung
jawab. Sebagai seorang rantauan atau biasa di sebut TKW memang sudah menjadi
penyakit yang selalu menjanlar di setiap warga Indonesia. Apalagi di wilayah
pedesaan atau pelosok seperti tempat tinggal Dimas dan keluarganya. Rendahnya
ekonomi dan kurangnya lapangan pekerjaan membuat istri dari lelaki berusia 29
tahun itu harus memilih jalan tersebut, hingga akhirnya meninggalkan Dimas dan
Alif yang makin hari terlunta-lunta.
Esoknya Dimas berangkat bekerja sebagai buruh
tani. Membantu semua petani yang sedang panen. Tak banyak yang bisa ia lakukan,
lelah, putus asa, terus berputar-putar di kepalanya. Ingin sekali ia untuk
menikah lagi menganti Arohi. Wajahnya menatap langit yang sudah terlihat
mendung. Di tengah sawah yang hijau, Dimas bersandar di bawah pohon pisang
ditemani kedua sahabatnya.
"Dim, kamu betah sekali hidup tanpa
seorang istri." Adong berkata pelan kepada Dimas.
"Iya, Dim. Saya saja yang di tinggal
sehari oleh istri, terasa rindu berat." Ujar Ucup di sebelahnya.
"Aku juga mana mau di tinggal,
Cup." Dimas mulai berbicara.
"Kalau saya jadi kamu, sudah lama saya menikah lagi, Dim. Kasihan
kamunya."
"Kamu lihat saja Parno, setelah
menikah hidupnya lebih baik sekarang, walaupun istri pertamanya entah di
mana." Tegas Adong.
"Atau jangan-jangan kamu mau menjadi
seperti Eko yang menderita karena kesetiaannya kepada istrinya, sampai-sampai
harus menunggunya sepuluh tahun lebih tanpa kepastian. Kurus, dan kering."
"Aku juga maunya seperti itu, tapi
bagaiamana dengan Alif."
"Kamu kasih saja kepada Neneknya.
Beres, kan." Ucapan kedua temannya itu membuat Dimas berpikir keras.
Seakan membenarkan ucapan itu.
Alif
selalu menjadi alasan Dimas tetap terjaga di dalam rumah dengan atap kayu itu.
Merintih dan meminta kapan Arohi akan akan kembali untuknya. Namun, Dimas
selalu menjawab Anaknya dengan tenang. Seperti malam ini, Alif lagi-lagi harus
menghadapi malam dengan mimpi buruk.
"Pak, kapan Ibu akan pulang?"
matanya terlihat bening.
"Dia tidak akan pulang, Nak."
Dimas membelai kepalanya.
"Apakah kamu mau mempunyai Arohi yang
kedua?" lelaki bertubuh tinggi itu menatap lekat anaknya. Namun, Alif
menggeleng lalu pergi.
Tidak ada yang berarti di rumah itu semenjak perempuan itu pergi.
Kebungkaman yang tak berarti yang menghiasi rumah reot itu.
Waktu terus berhembus, tak ada yang menatap
siapa. Begitu pun dengan Alif, hidupnya makin hari semakin menderita, tubuhnya
semakin kurus dan kering tak berisi. Tak ada yang perduli denganya. Termasuk
Ayahnya, ia lebih mementingkan hidupnya pribadi.
Hari ini Tuhan memanggil Alif untuk melihat syurga. Sudah cukup
penderitaannya di dunia. Seorang tukang kebun menemukan tubuh Alif tergeletak
mengerikan. Tak ada keluarganya yang bisa mengurusi pemakaman. Hingga ada warga
yang iba mengebumikan Alif.
Penderitaan yang semakin tertindas akibat
Arohi yanh tak kunjung pulang.
Langkah Dimas terus menyusuri jalan bersama
Alif menuju rumah Neneknya. Hari ini Dimas niatnya sudah bulat akan menikah
lagi, dan Alif akan, ia titipkan kepada Neneknya yang sudah tua dan tak
berpenghasilan lagi. Pekerjaannya sebagai pemulung, itu saja kalau ia dalam
keadaan sehat.
" Bu, ini Alif aku titip ke Ibu. Saya
mau menikah lagi."
"Dimas, kamu masih sah menjadi
suaminya Arohi. Namun, sekarang kamu mau menikah lagi."
"Aku tidak bisa menunggu anak Ibu
selama ini. Permisi." kaki Dimas melangkah pergi menjauhi mereka.
Dua hari setelah itu, Dimas menikah. Semua biaya pernikahan dibiayai
oleh istrinya. Pernikahan tanpa persetujuan Arohi. Itu sungguh melanggar
ketentuan. Uang membutakan semuanya. Hingga Dimas mengorbankan anaknya.
Kebahagiaan amat tidak bernilai.
Dimas sebenarnya tahu kalau anaknya menderita bersama Neneknya, sebab
kurangnya asupan makanan dan sulitnya pekerjaan.
Satu minggu berlalu, Dimas tidak pernah
mencari tahu keadaan anaknya, apalagi mencari tahu, ia seakan tidak mau
tahu bagaiamana hidup Alif sekarang.
Tanpa sepengetahuan Dimas kemarin dua hari lalu Alif meninggal dunia
karena sakit. Alif hanya bisa merintih seorang diri, mengurus dan hidup
sendiri. Tubuhnya sekarang sudah kurus dan tidak terurus. Jejak yang di
tinggalkan Arohi membuat semuanya tersiksa. Anaknya terlunta-lunta, dan
Suaminya melanggar janji suci mereka. Bukan hanya keluarga mereka yang senasib
seperti ini, tetapi begitu banyak keluarga muda yang memilih jalan yang selalu
berakhir dengan derita ini. Alif anak yang tak tahu harus mencari keluarganya
yang kini terpecah-pecah entah ada di mana. Hanya bisa menangis menatap
hidupnya.
Keputusan Arohi sudah bulat, ia akan
meneror suaminya sendiri. Malam ini ia akan beraksi, tepat jam 00.00, ia akan
membalas sakit hatinya. Wanita ini berjalan menuju rumah Dimas. Mengendap-endap
ke kamarnya. Perlahan ia berdiri tepat di hadapan Dimas, bayangannya menyatu dengannya.
Seketika menarik selimut lelaki itu. Terlihat wajah Dimas menggigil kedinginan.
Tangan Arohi kini mulai memecahkan setiap benda dalam ruangan itu, kemudian
mencekit suaminya tanpa ampun, tetapi tidak sampai membunuhnya.
"Eh siapa kamu, lepaskan saya. Tolong,
Too-loong .... "
"Kamu harus mati." Teriak Arohi.
Setelah Arohi merasa cukup membuat Dimas
ketakutan, ia segera berlari meninggalkannya. Arohi senang melihat suaminya
ketakutan, wanita itu melakukan aksinya setiap malam, semakin brutal dan tak
terkendali.
Niatnya untuk menjadikan Dimas terfonis gila karena depresi dan
ketakutan kini sudah terwujud. Lelaki berkumis itu sudah berada di rumah sakit
gila, karena selalu hiteris sendiri, merasa semua yang ada di dekatnya seorang
pembunuh. Wajah Dimas mengerikan karena rasa takutnya. Istri barunya menggugat
cerai dirinya karena sudah tidak tahan dengan sikap suaminya.
Dua bulan telah berlalu tanpa meninggalkan
sisa keindahan. Tidak ada yang bisa mengubah waktu. Termasuk meminta Alif hidup
lagi. Dimas sang Ayahnya, tak pernah memikirkan tentang anaknya. Hanya
kesenangan semata yang menguasai dirinya. Sekarang lelaki dengan kumis hitam
itu harus mendapatkan berbagai gunjingan dari semua orang. Seorang Ayah yang
tak bertanggung jawab, lebih mementingkan nafsu semata, dan ocehan disetiap
sudut kampungnya dengan menikah dengan orang lain tanpa persetujuan dari istri
pertamanya.
Hingga di minggu ketiga bulan Mei Arohi menginjakkan kaki ke tanah
tempat, ia di lahirkan Mendengar kelakuan suaminya yang buas membuatnya ingin
brutal. Kini cintanya berubah menjadi kebencian yang teramat dalam dan
menjijikan. Tepat di pemakaman Anaknya sendiri Arohi terisak menangis,
penyesalan yang terus menggerogoti hatinya. Wanita dengan rambut ikal itu
memeluk nisan Alif, mencium dan mendekapnya. Tak ada guna uang melimpah yang ia
bawa seakrang. Kebahagiaan yang selalu ia gantung di langit Tuhan, kini
terhempas berantakan tak tersisa.
"Ya, Tuhan. Kenapa Engkau ambil Alif
begitu cepat dariku. Apakah ini hukuman buatku, sekarang tidak ada gunanya
materi dan uang bagiku, yang aku ingin Engkau kembalikan Alif." Isak Arohi
meratapi hidupnya. Tak ada yang bisa mengubah tadir Ilahi dalam sebuah
kematian.
"Semua ini gara-gara kamu, Mas."
Teriak Arohi menjerit menahan rasa sakit. Air matanya tak terbendung lagi.
"Kamu harus membayar semuanya, Mas.
Kesakitan ini kamu harus merasakannya." Mata Arohi menyala merah.
Pelototan matanya amat ganas, siap menerkam mangsanya. Wanita itu tak rela jika
hanya, ia yang merasakan kepedihan. Rasa sakit harus dibayar penderitaan pula,
hal itu yang selalu menari di kepala Arohi saat ini.
Arohi yang melihat semua kejadian yang
menimpa suaminya tertawa jahat. Sekarang terbayar sudah kesakitan hatinya,
membunuh Alif secara tidak langsung dan menikah menghianati janji suci mereka,
setimpal dengan apa yang ia hadapi sekarang. Arohi begitu bahagia menatap
penderitaannya.
Hingga pada malam ini Arohi tak kunjung bisa tidur. Terus saja ia
membolak-balikkan badanya. Kebahagiaan masih tergambar utuh di wajahnya. Disaat
ia akan menutup mata, terlihat bayangan panjang berdiri dekat jendela rumahnya.
Bayangan yang tepat berada pada wajahnya. Angin semakin kencang menerbangkan
dedaunan malam. Membuat Arohi ketakutan. Semakin lama bayangan itu begitu dekat
dengannya. Ada suara tertawa licik yang keluar dari mulutnya. Wanita itu begitu
ketakutan mendengarnya, kepalanya terus berpikir siapa dia?
Arohi luar biasa takutnya, sering sekali
bayangan itu berlalu lalang di hadapannya. Seketika lehernya tercekik, seperti
Arohi mencekik suaminya dulu. Semakin kuat cengkeraman bayangan itu. Satu jam
berlalu, Arohi kesakitan dan ketakutan.
Esoknya, Arohi dikabarkan telah meninggal dunia. Tak ada yang mengetahui
kenapa Arohi meninggal dunia. Sama tidak ada jejak yang tertinggal.
Pengarang: Heni Mulia Wati
4 Komentar
Masyaallah...
BalasHapusLuar Biasa
Nice....
BalasHapusLuarr biasaa kerenn❤ lanjutkann yaa😊
BalasHapusMantap...
BalasHapus