Cerpen 2



Menanti pulang

Rintikan sedari tadi tak jua berhenti, sinar petir sesekali mengagetkan, terpaan angin tak menghentikan dedaunan gugur yang mengotori jalan. Dari kejauhan terlihat seorang berjalan bungkuk dengan payung hitam, menembus jalanan sepi, ia berjalan perlahan sembari memegang tas lecek, namanya bi ijah, umurnya berkisar lebih dari tujuh puluh tahun, menurut keterangan para tetangga Bi Ijah salah satu orang tetua yang masih hidup hingga saat ini, ia hidup sebatang kara, suaminya meninggal saat ia baru melahirkan  anak satu-satunya, anak yang saat ini merantau entah kemana.
Di waktu senjanya, Bi Ijah berjuang melawan kerasnya hidup sebatang kara. Hanya bersaudarakan tetangga dan bermukim di rumah sederhana tanpa elektronik. Bi Ijah hidup dari hasil penjualan pecel setiap pagi, ia begitu tegar, tak pernah memasang raut sedih pada orang lain, begitu ramah, sapaan selalu ia hadirkan pada semua tetangga yang ia temui. Bermodal raut wajah kriput dan beberapa sisa gigi yang ia punya, Bi Ijahselalu tersenyum ramah.
Tepat saat hujan, angin dan guntur meramaikan malam, Bi Ijah berjalan di pinggiran jalan, ia berjalan dengan penglihatan memburam, ia menembus kepekatan malam menuju Masjid, “Allah”!! Teriaknya. Bi Ijah menabrak sebongkah bantu tanpa ampun, ia terjatuh, payung yang ia bawa terbawa angin, sekujur tubuhnya basah diterpa hujan. Bi Ijah membiarkan dirinya membasah, tanpa menjerit sakit, goresan-goresan aspal itu melukai kedua lututnya, belum lagi kaki yang tergelincir,
“bii, bii ijah.” Teriakku dari bilik jendela.
“bi ijah,”. Sambil membantunya berdiri ku raih tangan keriputnya.
“bibi gakpapa non,”
“tapi bibi luka bi, ayo ke rumah dulu, biar saya obati luka bibi.”
“tidak non, bibi udah telat sholat jamaah di Masjid.”
“ya Allah bi, bibi sholat di rumah laras kan bisa.”
“tapi bibi mau denger taklim di Masjid.“
“besok ya bi, bibi istirahat.”
“boten non, bibi gak papa.”
“baju bibi basah, , laras antar pulang ya, nanti bibi saya antar ke Masjid, taklim belum mulai kok bi, di mulai 9 menit lagi.”
“ia non,” ia tersenyum menyimak bantuanku, tersenyum dengan beberapa gigi yang tersisa itu menggambarkan keramahan tak bernilai.
Aku segera mengeluarkan motor dengan satu payung besar untuk mengantar Bi Ijah ke rumahnya, hujan belum juga reda, dan Bi Ijah harus datang tepat waktu mengikuti taklim di Masjid. Andai semua pemuda  berjiwa baja seperti bi ijah, mungkin negara ini akan lebih maju, tak ada lagi pemuda berjiwa dongkol yang mau sukses tanpa perjuangan, yang ingin medali tanpa peduli, hingga melalui beribu cara bejat tanpa ampun.
“ya Allah bimbing aku”. Lirihku dalam hati
“ayo non !”Ajakan bi ijah,
“oh iya bi, bibi pincang bi”?
“tak apa, besok juga sembuh”. Jawabnya penuh tegar.
     Di Atas motor, jalanan lengang tanpa keramaian. hanya ada aku dan bi ijah, ku pecahkan sepi sembari mendaratkan beberapa pertanyaan padanya.
“bi, ini kan hujan kenapa bibi suka banget ke Masjid, ikut taklim,”
“bibi suka ajja non, umur bibi udah tua, wayae ngenteni ketemu gusti Allah, mosok bibi mau malas-malasan”. Kalimat itu menamparku, lantas aku yang dianugerahi Allah kesehatan dan kecukupan tak pernah berfikir sejauh itu, bahkan lebih suka bermalasan untuk menghadapNya, namun bibi dengan badan yang tak lagi sehat, tulang yang melemah dan penglihatan yang buram, sangat keras melawan nafsu demi meraih cintaNya. Setetes bulir bening terjatuh.
*
Setiap hari, tepatnya setiap waktu sholat tiba, aku selalu senang memperhatikan Bi Ijah dari balik jendela kamar, ia selalu berjamaah  ke Masjid, Masjid yang berjarak 2 km dari rumahnya itu yang terletak di ujung jalan.   Bi Ijah menjadi motivasi tersendiri bagiku untuk belajar mencintaNya. Walau Bi Ijah tak pernah mengajakku ke Masjid, namun aku selalu ingin berjiwa sepertinya, berjiwa baja tanpa kenal lelah, menjalani hidup bermodalkan sabar dan sholat. “Bi Ijah semoga Allah membalasmu dengan kemulyaan di sisiNya.”
*
Terik matahari menerpa bumi tanpa ampun, hari itu sangat menggerahkan semua yang beraktivitas, di atas sepeda motor yang ku tumpangi, ku  setir perlahan berjalan melewati rumah bi ijah, “toloong”! Ada suara minta tolong,
Bu nina berlari tergupuh –gupuh dengan suara minta tolong, para tetangga segera keluar rumah tanpa peduli gerah siang itu, “Bi Ijahnduk”.
“kenapa bu nina”.
“Bi Ijah tak lagi bernafas, tadi saya berniat ingin memberinya sayur lodeh, lalu saya menemukannya tidur bermukena di atas tempat tidurnya, saya bangunkan, tapi Bi Ijah tak lagi bernafas”. Bu nina, menjelaskan sambil terisak.
“innalillah”. Kalimat itu di ucap beramai-ramai
“innalillah wa inna ilaihi roji’un”
“ayo kita rawat jenazah bi Ijah,” kata pak RT.
“Bi Ijah hanya berkeluargakan tetangga”sambung Pak Totok.
“yang perempuan memandikan jenazah, sedangkan yang laki-laki menyiapkan liang lahat di belakang Masjid, dan segera bersiap mensolatinya” paparan pak RT menjelaskan pada warga sekitar.
Semua warga kehilangan bi ijah, kepergiannya seakan memurungkan bumi, kini tak ada lagi senyum ramah  berwajah keriput menyapa, tak ada lagi sentuhan semangat menghamba yang ku tatap setiap hari untuk membangkitkan semangatku, ia telah bertemu tuhanNya, ia telah memenuhi panggilanNya, dan kini ia tak lagi meneteskan air mata sedihnya,.
Selamat jalan bi,!
Semoga Allah menempatkanmu di tempat yang ia siapkan untuk hamba-hambaNya yang sholeh.
jalanan perlahan meramai, disesaki manusia- manusia yang tak kunjung selesai akan urusan dunianya. Panas matahari menyerang permukaan tanpa ampun, menyegat siapapun yang berada dibawahnya tanpa perantara. di tengah keramaian kota, aku termenung menyaksikan orang-orang yang berlalu lalang di keramaian ini. fikirku melambung serta banyak tanya, apa yang mereka lakukan setelah ini?
tiduran, bekerja, atau sekolah? tentunya apa yang mereka lakukan saat ini adalah keinginan mereka. bukan sekedar mencari kebahagiaan semata, namun kebutuhan pokok dan segala macam balasan apapun mereka dapat setelah melakukan sesuatu itu. lain halnya dengan aku yang saat ini tengah membonceng kiriman nasi kotak untuk beberapa pelanggan ibu. setiap hari sebanyak 5 kali, aku harus berkeliling dari  sudut ke sudut kota untuk mengerjakan hal ini tanpa kelegaan. rutinitas ini adalah paksaan dan tekanan menurutku. karena alasan kegiatanku ini  hanya karena ibu yang memaksaku untuk membantunya. sudah sejak lama aku ingin melanjutkan sekolahku di perguruan tinggi. impianku menjadi manajer perusahan harus kandas begitu saja setelah bapak wafat. ibu yang menjadi tulang punggung keluarga tak bisa melakukan semua pekerjaannya sendiri. ibu butuh teman kerja, dan beliau tak mampu untuk menggaji karyawannya. maka akulah yang ditunjuk ibu untuk membantunya. selain karena karyawan tanpa bayaran, akupun satu satunya anak laki laki ibu.
aku melanjutkan perjalanan bertemankqn sinar matahari yang menyengat ini. dengan menaiki motor aku membonceng 6 kardus nasi berisikan 150 kotak yang harus kuantarkan ke sebuah pabrik di sudut kota. rasanya tak pernah merasakan ikhlas. apalagi saat melihat beberapa mahasiswa yang keluyuran di pinggir jalan, melihat mereka bersuka ria semakin miris rasanya. ya, beginilah takdirku sekarang! tidak aku harus merubahnya.
sesampainya di rumah, aku segera memberikan setoran uang dari semua pelanggan ibu hari ini. tanpa basa basi aku berkata pada ibu
"Bu, saya pingin kuliah".
"ibukan udah bilang nduk, masih belum punya uang cukup buat kamu kuliah. tahun depan ngge". hibur ibu sambil menatap kedua mataku.
tak tega rasanya harus memaksa ibu dengan semua harapku. tapi kapan? jika aku tak melanjutkan berbicara hal ini pada ibu maka kapan aku bisa segera melanjutkan impianku.
sudahlah, percuma bila aku harus bicara pada ibu. mau seratus kali berkata maka seratus jawaban tetaplah sama.
sesampainya di rumah, aku segera memberikan setoran uang dari semua pelanggan ibu hari ini. tanpa basa basi aku berkata pada ibu
"Bu, saya pingin kuliah".
"ibukan udah bilang le, masih belum punya uang cukup buat kamu kuliah. tahun depan ngge". hibur ibu sambil menatap kedua mataku.
tak tega rasanya harus memaksa ibu dengan semua harapku. tapi kapan? jika aku tak melanjutkan berbicara hal ini pada ibu maka kapan aku bisa segera melanjutkan impian.
sudahlah, percuma bila aku harus bicara pada ibu. mau seratus kali berkata maka seratus jawaban tetaplah sama.
*
berada di tengah kepekatan petang, aku merenung sendiri di dalam kamar. saat ini aku membayangkan betapa bahagianya bila aku sedang menjalani perkuliahan bersama teman -teman. menulis makalah, presentasi ahh begitu menenangkan bukan?. maka karena ibu tak mungkin menyetujui permintaanku, aku harus segera bertindak. entah pergi dari rumah atau mencari kerja yang bayarannya cukup untuk biaya kuliah. setidaknya sebulan aku mempunyai penghasilan UMR. aku segera beranjak menyiapkan kepergianku secara diam - diam ini. ijazah, uang tabungan baju, jaket, sepatu, mungkin cukup ini saja. karena setelah ini aku pasti mendapat kerja yg lebih menjamin masa depanku.
*
berada di tengah kepekatan petang, aku merenung sendiri di dalam kamar. saat ini aku membayangkan betapa bahagianya bila aku sedang menjalani perkuliahan bersama teman -teman. menulis makalah, presentasi ahh begitu menenangkan bukan?. maka karena ibu tak mungkin menyetujui permintaanku, aku harus segera bertindak. entah pergi dari rumah atau mencari kerja yang bayarannya cukup untuk biaya kuliah. setidaknya sebulan aku mempunyai penghasilan UMR.  tanpa berpikir panjang aku segera beranjak menyiapkan kepergian ini secara diam - diam . ijazah, uang tabungan baju, jaket, sepatu, mungkin cukup ini saja. karena setelah ini aku pasti mendapat kerja yg lebih menjamin masa depan. "ibu, maafkan aku. tapi yakinlah Bu. saya akan kembali membahagiakan ibu saat sukses kelak". tulisan di secarik kertas yang ku letakkan di meja ruang tamu
saat ini arah tujuanku adalah kamar kos temanku yang bernama Indra. katanya ia akan  membantuku mencari pekerjaan. semvari membelah langit pagi, walau jaket tebal saat ini menyelimuti tubuh ku ini tapi tetap saja terasa dingin menusuk persendian. sejenak aku khawatir. bagaimana perasaan ibu setelah mengetahui bahwa aku pergi dari rumah. aahh .... masa bodoh, siapa suruh ibu tak mendukung keinginanku.
saat ini aku berdiam di ruangan persegi panjang yang hanya berisi alas kasur, video, magic com, dan lemari pakaian. ini adalah tempatku sementara selama pencarian kerja.
"ind, aku mau kerja dimana ind?" tanyaku kepadanya.
" dimana aja, yang penting halal kan. besok akan bawa kamu ke pabrik. sehari gajinya 100, berrti seminggu 700 dan sebulan kamu bisa dapat tiga jutaan kan".
"waah beneran."
"iyyalah".
Indra adalah teman sekolahku. kini dia kuliah di salah satu universitas Islam negeri di kota ini. semua rencananya terlihat sangat lancar karena dia berasal dari keluarga yang tergolong mampu.
"Dayat, mungkin seharian aku ga di sini. ada kegiatan kampus yang tak bisa ku tinggalkan. jadi, jadi kamu jaga ya ni kamar." jelas Indra padaku

" kalau makan gimana"?.
" disini aku hanya terkadang memasak nasi dan beli lauk di luar".
" owalah iya de".
" baik aku berangkat ya".
malam ini, malam pertama aku menginap di kamas kos. sepi tanpa suara apapun kecuali riuhan angin malam. di sini, tak ada suara ramai adik-adik, suara dapur saat ibu memasak, sepi tak bergeming.  oh tidak, aku tak boleh rindu rumah sebelum semua rencanaku berhasil.

Entah dapat dibenarkan atau tidak tindakan ini. meninggalkan ibu yang sedang butuh bantuan tanpa peduli bahkan pamit.  tapi bagaimana lagi, semua yang kulakukan ini juga untuknya. bagaimana aku bisa berkembang tanpa mengetahui dunia yang lebih luas?.
baru sehari disini, tadi malam aku kelaparan karena tak ada makanan. mungkin bila aku berada di rumah, maka dengan mudah bisa makan dengan masakan ibu yang memang enak tanpa bayar. disini mandipun harus antri dengan penghuni kos lainnya, tadi pagi aku mandi saat jam 06.05 padahal aku sudah bangun sejak jam lima pagi. tak hanya aku juga dimarahi oleh penghuni kamas kos sebelahku karena menyetel musik dengan suara yang tinggi. padahal kalau di rumah aku kerjakan setiap hari agar badan terasa rilexs dan fikiran tidak cenderung stress.
" ayo dayat, kita ke pabrik hari ini."ajak Indra
"ayo dra".
hari baru, semangat baru, suasana baru. kalimat ini kini menumpuk dalam alam fikirku. iya, harus semangat. sambil menarik nafas perlahn, aku mencoba untuk menguatkan diri ini dengan berbagai kalimat motivasi dalam benakku. percuma, seribu motivasi dari orang lain kalau kalau diri ini tak menumbuhkan motivasi dalam diri.
" jadi kita mau ke pabrik apa ind."
"pabrik plastik Yat," jawabnya.
jarak menuju pabrik tidak jauh dari kamar kos, hanya berjalan kaki dengan menghabiskan waktu sekitar 18 menit saja. sesampainya di pabrik aku berkenalan dengan mandornya. tanpa basa basi aku bisa langsung bekerja di bagian kurir angkat barang.
baiklah, aku terima saja. toh untung-untungan aku bisa mendapatkan pekerjaan semudah ini.
"okey, Dayat aku ke kampus ya. selamat bekerja." sapa Dayat sesaat setelah kami berkenalan dengan pak mandor.
"makasih bro, udah nganterin!"

suasana pabrik terlihat ramai, ada mesin mesin berjalan. mesin pencetak, dan pegawai yang terlihat ulet saat bertugas. dan aku bagian kurir, apa saja yang harus kuangkat.
"dayat.... sini."pak mandor memanggilku.
"kamu angkat barang yang sudah dikemas itu ke truk pengantar barang ya."
jleb, " kardus berukuran  sekitar 2 meter persegi ini harus kuangkat. wah apa aku kuat," ucapku dalam hati.
"kok diem, sana angkat. ga mau, ?"
" ga ada tugas lain pak." tanyaku.
"disini yang kosong hanya ini, sementara kerjakan saja lah, lagian kamu juga masih baru mau kerja enak. "
" baik pak."

melihat barang-barang itu saja, rasanya sudah tak kuat. tapi mau bagaimana lagi. aku harus bisa mengangkat barang-barang itu. perlahan kuangkat sekuat tenaga kardus berisi ribuan lembaran plastik ini. tetesan keringat kian menderas, waktu istirahat tak kunjung tiba. punggung dan tanganku sudah sakit sekali. seumur hidup aku tak pernah mengangkat barang sebanyak dan seberat itu. perlahan, kutarik nafas dan demi menguatkan diri ini. tidak, aku tak boleh cengeng.

waktu istirahat tiba, ahh,,,, aku tak bisa berdiri. perutku terasa sangat perih karena mungkin memang aku tak makan dari tadi pagi. andai aku di rumah, tentu aku tak pernah telat makan. karena ibu selalu menyediakan makanan di dapur setiap waktu. lagi-lagi aku memiikirkannya.
seharian mengangkat barang berat itu membuat punggung dan tanganku terasa sakit. malam ini aku benar-benar lemah. ini baru sehari, bagaimana jika setiap hari. walaupun uang gajian harian telah masuk di dompetku, tapi tak ada kebahagiaan yang kurasakan akhir-akhir ini. hidupku terasa sangat sepi, bahkan tertawapun tak lagi bisa lepas. aku kembali memikirkan atas segala tindakanku. benarkah? atau aku yang terlalu egois?. bayang-bayang masa kecilku berkelebat sesaat. saat ibu mengejarku dengan membawa mangkuk berisikan bubur, saat ibu mengajariku berhitung, saat aku mengamuk karena tak dibelikan mainan. semua itu tampak jelas di di pelupuk mata. dikamar kost yang selalu bersuasana sepi, hatiku gundah, sepi, tak berwarna. besok aku harus kembali ke rumah, memohon maaf pada ibu. apalah arti pencapaian dunia tanpa kebahagiaan sejati. kini aku  menjadikan ibu segalanya. sukses ataupun keberhasilan tak bisa kuraih tanpanya .
tanpa fikir panjang, aku ingin segera kembali ke rumah. hatiku sudah kalut, aku tak bisa lagi mengapresiasi egoku yang tak pernah menangkan, dan hanya bahagia sesaat saja. apakah ibu mau memaafkan anaknya yang keterlaluan ini. atau ibu malah mengusirku sesaat setelah aku kembali nanti. sudahlah, yang terpenting bagiku saat ini adalah bertemu ibu dan memohon maaf.

sesampainya di depan rumah, aku berdiri menatap rumah yaang sejak dulu ku tempati ini.  perlahan aku membuka pintu dan segera mengarahkan pandangan, mencari dimana ibu. seperti biasa bila hari sudah siang seperti ini, ibu sedang memasak dan adik adik sedang sekolah. bau makanan tercium semerbak dalam rumah. sepertinya, ibu memang berada di dapur.
"assalamualaikum Bu," pelan-pelan aku mengucapkan salam.
tanpa waktu lama, ibu menoleh kebelakang. "Dayat!"
"iya Bu, ini dayat." aku segera bersimpuh di kaki ibu, merunduk merasa sangat bersalah. bagaimana kemarin aku bisa sekeras itu, meninggalkan ibu yang selalu menyayangiku. cintanya yang tak pernah diragukan lagi. genangan air mata yang tertahan itu akhirnya tumpah.
"ini benar kamu Dayat, ibu minta maaf ya."
apa yang kudengar, ibu meminta maaf, bukankah aku yang salah. kenapa ibu juga meminta maaf.

" dayat, yang minta maaf Bu," sanggahku
"ibu yang salah nak, ibu menyerah terlebih dahulu untuk memutuskan kamu tidak kuliah, dan membantu ibu. ibu egois nak." kalimat itu tertata sedemikian, terucap bersama air matanya yang deras.
aku tak mampu lagi menyaksikan kesejatian cintamu bu, maafkan anakmu ini.
"ibu, maafkan Dayat. Dayat tak pandai berfikir panjang".
Sejak saat itu, aku nur Hidayat. Tak pernah lagi mau membantah nasihat ibu. Karena segala hal yang tak diridhoi olehnya, tak akan pernah berakhir baik.

Pengarang: Qomeraa

1 Komentar